Kamis, 09 Maret 2017

Mengenal YOYOK RIYO SUDIBYO, Mayor EDAN Penerima Bung Hatta Award

Mengenal YOYOK RIYO SUDIBYO, Mayor EDAN Penerima Bung Hatta Award


Pemudabangsa - Mantan Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini terpilih sebagai penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award 2015. Penghargaan itu akan diserahkan pada Kamis (5/11/2015) ini di Jakarta.

Jika Risma telah banyak dikenal publik dengan sepak terjangnya selama memimpin Surabaya, tidak demikian dengan Bupati Batang, Jawa Tengah, periode 2012-2017, Yoyok Riyo Sudibyo.

Bersama Risma, Yoyok Riyo Sudibyo pun dianugerahi penghargaan yang sama. Lantas, siapa sebenarnya Yoyok?

Pria kelahiran 23 April 1972 asal Bandar, Batang, ini lulusan Akademi Militer 1994 dan Sekolah Lanjutan Perwira 2004.

Saat memutuskan berhenti dari dinas militer dengan pangkat terakhir mayor untuk kemudian mengikuti Pilkada Batang 2012, Yoyok mengenang, tentangan terberat datang dari orangtua.

Dia bahkan dicap "mayor edan" karena memilih keluar dari TNI.

"Menjadi bupati merupakan pengalaman paling dahsyat dalam hidup saya. Ini jauh lebih sulit dibandingkan saat saya menjalankan operasi militer," demikian ungkap Yoyok seperti dikutip dari harian Kompas edisi Kamis.

Yoyok meyakini, seorang kepala daerah harus menguasai tata kelola pemerintahan dan keuangan, birokrasi, serta dapat mengelola hubungan dengan legislatif.

Keberadaan sejumlah syarat itu membuat jabatan kepala daerah kerap menjebak mereka yang belum punya cukup pengetahuan dan niat baik.

Ketika Yoyok mulai menjabat bupati, kondisi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batang sedang terpuruk.

Pejabat bupati sebelumnya, Bambang Bintoro, terseret masalah hukum dan dipidana penjara. Kepercayaan masyarakat terhadap Pemkab anjlok.

Pada 2012, pendapatan asli daerah (PAD) Batang hanya Rp 67 miliar. Pada 2014, PAD Batang menjadi Rp 186 miliar dan diharapkan pada 2017 menjadi lebih dari Rp 200 miliar.

Keterbukaan

Dalam mengelola pemerintah, Yoyok menerapkan keterbukaan. Dia membuka rumah dinasnya selama 24 jam bagi masyarakat.

Meski sudah menjadi bupati, Yoyok juga masih sering naik sepeda ke masjid di Alun-alun Kota Batang untuk shalat berjemaah.

Yoyok juga menerapkan transparansi anggaran dan pembangunan. Mulai 2012, Pemkab Batang bekerja sama dengan Ombudsman RI di bidang layanan publik, termasuk mulai menerapkan lelang jabatan.

Yoyok juga membentuk Unit Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (UPKP2) Kabupaten Batang pada 2013. Kantor ini bertugas melayani semua usulan dan pengaduan masyarakat yang belum digarap atau belum masuk agenda pembangunan.

Dalam pengadaan barang dan jasa, Yoyok belajar kepada Pemkot Surabaya untuk mengadopsi sistem layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) yang dapat mencegah rekayasa dan korupsi.

Hasilnya, LPSE Batang pada 2014 meraih standar ISO 27001 dari Lembaga Sertifikasi Internasional ACS Registrars.

Demi menjaga kualitas kegiatan, Pemkab Batang juga bekerja sama dengan Universitas Negeri Semarang sebagai supervisi dan pengawas.

Pembenahan ini, kata Yoyok, bukan tanpa gejolak. Ketika UPKP2 dibentuk, sempat muncul tudingan lembaga itu sebagai inspektorat bayaran.

Namun, pembenahan sistem itu akhirnya menuai apresiasi. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran pada 2013 menyatakan, Pemkab Batang merupakan daerah dengan urutan terendah dalam penyimpangan anggaran se-Jateng.

Pada tahun itu, Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Batang juga meraih Investment Award 2013 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kini, Yoyok menerima Bung Hatta Anti-Corruption Award 2015.

"Penghargaan itu ujian bagi saya. Jabatan saya tinggal setahun dua bulan. Cukup sekali menjadi bupati. Semoga pengganti saya jauh lebih baik," harap Yoyok. (WHO)

Silahkan Share

Baca Juga




Sumber: http://regional.kompas.com

Kisah MENEGANGKAN John Lie, HANTU SELAT MALAK Pahlawan Penyelundup Senjata...

John Lie, HANTU SELAT MALAK Pahlawan Penyelundup Senjata...


Pemuda-bangsa - Jahja Daniel Dharma alias John Lie (1911-1988) adalah penyelundup ulung di laut. "Hantu Selat Malaka" julukannya.

Ia satu-satunya milisi Indonesia keturunan Tionghoa yang meraih pangkat Laksamana Muda dan diberikan gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Indonesia.

***
Doa John Lie terjawab. Februari 1946, ia dan teman-teman pelaut asal Indonesia yang bekerja di maskapai pelayaran KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) bisa pulang ke Indonesia setelah kekalahan Jepang akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.

Saat singgah di Singapura selama 10 hari, dia memanfaatkan waktu mempelajari sistem pembersihan ranjau laut dari Royal Navy di Pelabuhan Singapura. Ia juga menyegarkan ingatannya soal taktik perang laut dan peranan kapal logistik.

John Lie tidak sabar ingin bergabung bersama laskar perjuangan mengusir penjajah.

Dikutip dari Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran yang ditulis wartawan Kompas, Iwan Santosa, John Lie tidak segera bergabung bersama laskar pejuang sesampainya di Jakarta. Sebulan ia habiskan mengumpulkan uang untuk ke Yogyakarta.

Pada Mei 1946, John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng. Ia diterima sebagai anggota KRIS Barisan Laut dan diberi surat pengantar untuk bertemu AA Maramis.

Dari Maramis itulah John Lie diberikan referensi untuk menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) Laksamana M Pardi di Yogyakarta.

Setibanya di hadapan M Pardi di Yogyakarta, John Lie dengan lancar menjelaskan maksud dan tujuannya untuk bergabung bersama perjuangan Indonesia di bidang maritim.

Pardi tertarik dengan pengalaman dan kemampuan John Lie. Mereka membahas pengalaman dan kemampuan John Lie dengan menggunakan bahasa Belanda.

"John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak," ujar Pardi kala itu.

John Lie dengan tegas menjawab, "Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut. Karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya."

Pardi menandatangani izin bergabungnya John Lie di ALRI. John Lie diangkat sebagai Kelasi III. Meski berpangkat rendah, banyak perwira ALRI yang bertanya perihal pengetahuan kelautan ke John Lie.



Pada 29 Agustus 1946, M Pardi menugaskan John Lie pergi ke Pelabuhan Cilacap, bergabung bersama ALRI di sana. John Lie berangkat ke Cilacap dengan menumpang gerbong pos di kereta api uap dari Yogyakarta.

Menjadi penyelundup

September 1947, Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri membeli sejumlah kapal cepat. Mereka menyaring dan menyusun personalia pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia.

John Lie merupakan salah satu yang lolos seleksi. Ia dipercaya memimpin sebuah kapal cepat bernama "The Outlaw".

Tidak disadari, perannya sebagai penyelundup dimulai seketika. Operasi perdana, "The Outlaw" melayari rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham.

Pada Oktober 1947, John Lie mencatat "The Outlaw" memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatera.

Sesampainya di Labuan Bilik, pesawat Belanda tampak terbang rendah mengitari pelabuhan. Pesawat meminta "The Outlaw" meninggalkan pelabuhan.

Namun, John Lie nekat berbohong dengan mengatakan kapal sedang kandas dan tidak bisa ke mana-mana.

John Lie bisa melihat jelas dua juru senjata pesawat sudah mengarahkan senapan mesin ke arah "The Outlaw", siap menarik pelatuknya.

Akan tetapi, keajaiban terjadi, usai memutar dan agak menukik, pesawat meninggalkan "The Outlaw". Seketika John Lie masuk ke kabin kemudian berlutut.
John Lie berdoa, mengucap syukur atas kemurahan dan kasih Tuhan, "The Outlaw" menjadi berwibawa di hadapan juru tembak pesawat yang memutuskan pergi.

Belakangan, diketahui pesawat Belanda pergi karena menipisnya bahan bakar. Misi perdana pun sukses. John Lie dan 22 awak kapalnya membongkar muatan senjata dan amunisi dan diserahkan ke Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam.

Keberhasilan "The Outlaw" menyelundupkan senjata ke Indonesia atau hasil bumi ke Singapura hingga Thailand terus terjadi pada misi-misi berikutnya.

Siaran stasiun radio BBC di London sampai-sampai menjuluki kapal tersebut dengan nama "The Black Speedboat".

Kepala Subdinas Sejarah Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Kolonel Syarif Thoyib mengatakan, John Lie memiliki koneksi yang baik dengan orang-orang di pelabuhan Singapura, Thailand, bahkan hingga Afrika.

Maka tidak heran operasi-operasinya berjalan sukses atas bantuan mereka.

"Apalagi di Singapura, beliau begitu dikenal di sana. Wajahnya yang khas keturunan Tionghoa juga yang mungkin membuat dia dibantu sana-sini. Padahal apa yang John Lie lakukan adalah membantu Indonesia merdeka," ujar Syarif saat berbincang dengan Kompas.com, pertengahan Januari 2017.

Dibantu "keajaiban"

Suatu ketika di awal Agustus 1949, "The Outlaw" harus menjalani perbaikan total dengan naik galangan atau docking di Penang.

Selesai perbaikan, "The Outlaw" kembali ke Phuket menjemput awak kapal. Mereka berlayar kembali ke Aceh.

Pagi-pagi buta, saat kapal memasuki Delta Tamiang, kapal Belanda menghadang. Dengan membabibuta, kapal penjajah menembakkan meriam ke badan "The Outlaw".

Suasana sangat mencekam. Peluru mendesing-desing. Ledakan terjadi di jarak 3 meter tempat John Lie berlindung.

Dalam kondisi kritis, "The Outlaw" sama sekali tidak berdaya. Namun ajaib, kapal Belanda mengalami kandas di karang sehingga tidak bisa bergerak lagi. "The Outlaw" melarikan diri bersembunyi di Delta Tamiang.
Lolos dari armada laut Belanda, kini armada udara yang menyergap. Namun, lagi-lagi keajaiban terjadi. Pesawat dengan juru tembaknya hanya berputar-putar di atas delta. Mereka seakan-akan tidak melihat "The Outlaw" yang porak poranda di bawahnya.

"Roh Kudus membungkus kami," ujar John Lie dalam sebuah memoarnya.

Tidak berhenti sampai di situ. John Lie kemudian memutuskan kembali ke Penang. Apalagi, satu baling-baling mesinnya copot. Sulit pasti melarikan diri jika dikejar Belanda.

Pagi-pagi buta keesokan harinya, "The Outlaw" sudah sedikit lagi memasuki Selat Malaka. Namun, di tengah kegelapan malam, sebuah kapal tanker milik Belanda melintas.
Nakhoda kapal tangker itu kemudian menghubungi patroli militer Belanda. Benar saja. Tidak lama kemudian, kapal patroli Belanda kembali menghadang "The Outlaw".

Tembakan meriam Bofors dan senapan mesin 12,7 milimeter memecah kesunyian laut. Sadar jarak ke Penang masih jauh, John Lie dan awak pasrah.

Seisi kapal berserah pada Tuhan. Bahkan, John Lie tidak menyadari kapal Belanda mengirimkan sandi morse agar "The Outlaw" menyerah.

Namun, ajaib. Tiba-tiba cuaca buruk melanda perairan. Kabut menyelimuti permukaan laut. Hujan turun dengan sangat deras.

Gelombang laut tiba-tiba berkecamuk. Kapal Belanda tidak sanggup mengejar "The Outlaw" dengan cuaca yang demikian.

Perjalanan menyeramkan Phuket-Aceh itu juga terus dipantau radio BBC di London. Penyiar menyebut, "The Outlaw" dengan segala pengalamannya lolos dari sergapan itu di luar nalar.
Bahkan, saat John Lie untuk kesekian kalinya bertandang ke Phuket, wartawan Roy Rowan dari majalah Life mengulas secara khusus operasi-operasi "The Outlaw" dari halaman 49 sampai 52.

Pada 30 September 1949, John Lie dipindahkan ke Bangkok. Di sana, ia bertugas di Pos Hubungan Luar Negeri. Tugasnya di darat sama saja, mendapatkan pasokan senjata yang lebih banyak untuk para pejuang di tanah air.
"The Outlaw" kemudian dipimpin Kapten Laut Kusno. Namun dalam pelayaran pertama, seisi kapal tertangkap oleh Belanda.

John Lie sendiri melanjutkan tugasnya di TNI AL dalam sejumlah misi penting. Mulai dari penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, penumpasan RMS hingga PRRI-Permesta.

Pangkat tertinggi John Lie adalah Laksamana Muda, pangkat tertinggi bagi pejuang keturunan Tionghoa di Indonesia.

Saat wafat 27 Agustus 1988, anak asuh, pengemis, anak jalanan dan gelandangan memenuhi kediamannya di Menteng, Jakarta Pusat. Seorang Tionghoa yang selama ini menyantuninya telah pergi untuk selama-lamanya.
Namun, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009 menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepada mendiang John Lie.

Nama John Lie, pada awal Januari 2017, diabadikan sebagai nama Kapal Perang Indonesia, KRI John Lie.


***

Dalam salah satu wawancara sebelum meninggal, John Lie sempat menggambarkan situasi pada saat itu di mana setiap pejuang harus memiliki inisiatif melakukan apa saja demi menguntungkan negara.

"Tahun 1946-1947 itu kita harus bertindak sendiri. Sebab saya punya semangat untuk bekerja bagi negara, nusa dan bangsa. Apa saja saya hadapi. Membantu Republik pada waktu itu mencari devisa," tutur John Lie.
"Sebab kita banyak orang yang bantu negeri mencari devisa supaya jangan kita dipukul oleh kaum-kaum neokolonialisme. Sebab kita tidak ada dana. Itu tindakan yang baik sekali, dapat dana yang banyak,” ujarnya.

Silahkan Bagikan

Baca Juga




Sumber:http://nasional.kompas.com

Kisah HEROIK Pasukan Garuda Selamatkan Tentara Spanyol dari Sergapan Hizbullah

Kisah HEROIK Pasukan Garuda Selamatkan Tentara Spanyol dari Sergapan Hizbullah


Pemudabangsa - Kontingen Pasukan Garuda di Haiti mendapatkan medali penghargaan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Di Kongo, atas kerja kerasnya membangun jalan raya, pasukan Garuda juga mendapat banyak pujian. Sebagai pasukan penjaga perdamaian di bawah PBB, kiprah Pasukan Garuda memang mendapat tempat di hati masyarakat setempat.

Pasukan Garuda di Libanon juga sempat menyelamatkan pasukan pengintai Spanyol yang sedang melakukan patroli. Saat itu posisi tim Spanyol benar-benar terjepit karena dikejar pasukan Hizbullah.

Kisah ini dimuat dalam buku Kopassus untuk Indonesia yang ditulis Iwan Santosa dan EA Natanegara dan diterbitkan R&W.

Ceritanya saat itu 60 pasukan Spanyol yang mengendarai 10 panser sedang berpatroli rutin. Mereka sempat mengambil foto dokumentasi kabel saluran air yang dicurigai sebagai kabel komunikasi milik Hizbullah. Ternyata aksi mereka diketahui Hizbullah.

Dengan menggunakan 10 motor trail dan mobil, Hizbullah mengejar tentara Spanyol. Mereka menyandang AK-47 dan roket antitank. Tim pengintai Spanyol terpaksa meminta bantuan Kontingen Indonesia.

Untuk mencegah pertempuran darah, akhirnya Spanyol terpaksa menyerahkan memory card kamera tersebut pada Hizbullah disaksikan pasukan Garuda sebagai penengah.

"Anda punya senjata, kami juga punya. Kami tidak takut menghadapi anda," kata Hizbullah galak pada tentara Spanyol.

Maka setelah konflik mereda, anggota Pasukan Garuda menemui para tokoh Hizbullah. Mereka mencoba menerangkan ada kesalahpahaman antara Hizbullah dan Spanyol. Hubungan pasukan TNI dengan warga sekitar Libanon memang dekat. Sikap Pasukan Indonesia yang ramah tamah ternyata mempunyai keuntungan. Apalagi rakyat Libanon dan Indonesia sama-sama beragama Islam.

Setelah pasukan Garuda memberi penerangan, para anggota Hizbullah bisa memahami masalah tersebut. Mereka pun melupakan konflik yang terjadi dengan pasukan Spanyol dari United Nations Interim Force In Lebanon (UNIFIL) ini.

"Kami orang Libanon sebenarnya tidak menghargai dan menghormati UNIFIL karena mereka tidak berpihak secara adil pada orang Libanon selatan. Tetapi kami melakukan ini karena sangat menghormati anda orang Indonesia," kata Hizbullah.

Membanggakan memang.

Silahkan Share

Baca Juga

Kisah MENEGANGKAN DONO WARKOP dengan Gagah Berani MENYONGSONG Serbuan Tentara Hingga Dinobatkan Penyemprot Utama Selang Raksasa

Sumber:https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-pasukan-garuda-selamatkan-tentara-spanyol-dari-hizbullah.html

Kisah AMAN DIMOT, Pejuang Sakti yang KEBAL PELURU Sampai Digilas TANK Belanda, NGERII!!

Kisah AMAN DIMOT, Pejuang Sakti yang KEBAL PELURU Sampai Digilas TANK Belanda, NGERII!!


pemudabangsa - Di Aceh, ada sejumlah nama yang telah tercatat di lembar negara sebagai pahlawan nasional. Sebutlah Cut Nyak Dien, Malahayati, Panglima Polim, serta sejumlah nama lain.

Namun, masih ada tokoh dari dataran tinggi Gayo yang dianggap layak mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Keberanian dan kemampuannya dalam perang gerilya melawan penjajah Belanda pada tahun 1940-an sangatlah berbeda dengan kemampuan pahlawan lain yang telah gugur di medan perang.

Mengapa demikian? Aman Dimot di bawah pimpinan Ilyas Leube berperang dengan cara yang unik, yaitu menghadang tank dan truk pasukan Belanda.

Bukan hanya itu, dia dianggap kebal dan memiliki ilmu kanuragan karena tidak tergores apabila disabet pedang ataupun tidak mempan ditembus peluru.

Sejarah perang heroik

Pada tanggal 30 Juli 1949, di sekitar Tanah Karo, Sumatera Utara, pasukan Bagura dan Mujahidin asal Aceh Tengah mengintai dan menunggu iring-iringan tank dan 25 truk Belanda.

Pasukan berjumlah 45 orang itu menggunakan persenjataan senapan dan kelewang.

Berdasarkan sejumlah sumber, pasukan Barisan Gurilla Rakyat (Bagura) yang dipimpin Ilyas Leube bersama gerilyawan setempat menyerbu tank dan truk tersebut dengan membabi buta sehingga membuat pasukan marsose kalang kabut.

Satu dari puluhan serdadu tersebut bernama Abu Bakar yang dijuluki dengan Pang atau (Sang Pemberani) Aman Dimot.

Sesuai dengan julukannya, Pang Aman Dimot dikenal pemberani dan tidak kenal takut jika menghadapi Belanda. Bahkan, pemuda itu tidak gentar walaupun dalam keadaan perang terbuka atau perang jarak dekat.

Hal itu terbukti saat pasukan tersebut mulai lelah karena keterbatasan orang, persenjataan, dan logistik.

Ditambah lagi, saat bala bantuan pasukan Belanda semakin melemahkan perlawanan pejuang saat itu, Aman Dimot berkeras untuk tetap melakukan perlawanan.

Pilihan itu tetap diambil meski Komandan Ilyas Leube sudah memberi perintah kepada pasukan tersebut untuk mundur dan meninggalkan medan perang.

Aman Dimot, pemuda kelahiran Tenamak, Kecamatan Linge, Aceh Tengah, ini tetap menolak perintah Ilyas Leube. Dia memilih melanjutkan perang terbuka bersama dua rekannya, yaitu Pang Ali Rema dan Pang Edem.

Setelah Ilyas Leube dan sisa pasukan pergi, Aman Dimot bersama kedua rekannya itu berpura-pura mati di sekitar mayat-mayat korban perang yang bergelimpangan.

Saat pasukan Belanda sedang memastikan para korban sudah mati, Aman Dimot bersama teman-temannya bangkit dan menyerang pasukan Belanda itu dengan beringas.

Banyak di antara pasukan Belanda yang mati kala itu. Namun, Ali Rema dan Edem pun tewas saat itu.

Aman Dimot terus mengejar pasukan Belanda dengan pedang, pasukan Belanda bingung karena serangan dari persenjataan mereka tidak mampu melukai, apalagi membunuh Pang Aman Dimot.

Namun, akibat kelelahan, Aman Dimot akhirnya ditangkap Belanda. Pasukan marsose yang frustrasi karena tidak mampu membunuh Aman Dimot, akhirnya memasukkan granat ke dalam mulut sang pejuang.

Tak cukup sampai di situ, pasukan Belanda pun menggilas tubuh Pang Aman Dimot dengan tank. Maka dari itu, tanggal 30 Juli 1949 gugurlah Aman Dimot di Rajamerahe, Sukaramai, Karo, Sumatera Utara. Jasad Aman Dimot pun dimakamkan di tempat itu.

Beberapa tahun kemudian, kuburannya digali dan kerangkanya dipindahkan ke Tiga Binanga. Jasad Aman Dimot selanjutnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe, Sumatera Utara.

Menanti gelar pahlawan

Bagi masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues hingga masyarakat Alas di Kutacane, nama Aman Dimot harum karena kisah heroik perjuangannya.

Bagaimana tidak, bukan hanya sebagai pejuang di daerahnya, Aman Dimot bahkan berjuang agar Belanda tidak masuk ke Aceh dari jalur Tanah Karo, Sumatera Utara.

Pemerintah Aceh Tengah bahkan telah mengusulkan nama Aman Dimot sebagai pahlawan nasional, bersanding dengan nama besar pahlawan Aceh lainnya, seperti Cut Nyak Dien, Panglima Polim, dan yang lainnya.

Nama Aman Dimot telah disodorkan ke Kementerian Sosial, tetapi hingga saat ini belum berhasil.

"Kepada kita belum diberi tahu apa kekurangannya. Apakah kekurangan administrasi atau kekurangan bukti? Ini yang sedang kita minta untuk disampaikan supaya kalau kurang bukti bisa kita lengkapi, bila kurang administrasi kita bisa penuhi," kata Nasaruddin.

Nasaruddin adalah Bupati Aceh Tengah. Dia mengatakan, hal itu seusai upacara peringatan Hari Pahlawan di Lapangan Setdakab Aceh Tengah, Selasa (10/11/2015) lalu.

"Cuma kita belum pernah diberikan kesempatan untuk presentasi. Kita baru menyampaikan usulan yang dilengkapi dengan penelitian dan kajian ilmiahnya. Mana kala kita diminta untuk menjelaskan, mungkin suasana tim itu akan berbeda," kata dia.

Senada dengan itu, M Y Sidang Temas, veteran asal Aceh Tengah, menyampaikan harapan yang sama agar Aman Dimot diberi gelar pahlawan nasional. 

"Berbicara tentang Aman Dimot, saya sudah dua kali berjumpa Menteri Sosial Bachtiar Hamzah. Saya bertanggung jawab untuk menyampaikan makalah tentang Aman Dimot," kata dia.

Kepada pemerintah pusat, pria yang pernah bergabung bersama kelompok Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) tersebut mengharapkan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa agar merealisasikan gelar pahlawan nasional kepada Aman Dimot.

Silahkan Share

Baca Juga




Sumber:http://regional.kompas.com

Kisah MENEGANGKAN DONO WARKOP dengan Gagah Berani MENYONGSONG Serbuan Tentara Hingga Dinobatkan Penyemprot Utama Selang Raksasa

Kisah MENEGANGKAN DONO WARKOP dengan Gagah Berani MENYONGSONG Serbuan Tentara Hingga Dinobatkan Penyemprot Utama Selang Raksasa


Pemudabangsa -  Selain dikenal sebagai grup lawak dengan sentilan berbau politik, para personel Warkop DKI juga kerap turun ke jalan menyuarakan kekecewaan mereka terhadap pemerintahan. Salah satu personel Warkop yang dikenal paling vokal adalah Wahjoe Sardono atau yang biasa disapa Dono Warkop.

Wartawan senior, Budiarto Shambazy, mengingat bagaimana Dono dengan gagah berani menyongsong serbuan tentara yang saat itu menyerbu kampus Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta. Di saat ribuan mahasiswa masuk tunggang langgan ke dalam kampus yang berada di Semanggi, Dono dengan berani melawan tentara, bahkan 'menyerang' pasukan hijau itu selang hydrant.

Dalam buku 'Warkop Main-Main Jadi Bukan Main' karya Rudy Badil dan Indro Warkop, Budiarto yang dipercaya menuliskan kata pengantar, masih mengingat dengan jelas kejadian bersejarah tersebut. Saat itu Jumat, 13 November 1998, ketika Jakarta masih mencekam karena peristiwa 12 Mei 1998 yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti. Saat itu, mahasiswa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden.

Budiarto yang berada di lokasi mengatakan ia dan ratusan mahasiswa yang berlindung di UAJ diberondong senjata api selama satu jam. Rentetan tembakan tersebut berlangsung sejak pukul 20.30 WIB.

"Dono memang nekat. Setiap kali berondongan senjata diarahkan ke kampus, dia malah menantang badai. Dengan wajah melas tapi kocak, dengan barisan giginya yang 'maju tak gentar', Dono dinobatkan mahasiswa menjadi penyemprot utama selang raksasa."

Selang itu diarahkan Dono ke barisan tentara yang berada di jalur kanan Jalan Jenderal Sudirman. Sebagian prajurit yang melihat ulah Dono hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum.

Budiarto menjelaskan, Dono menjadi aktivis politik yang ikut menyusun lahirnya Reformasi 1998 dan bertujuan menggulingkan Soeharto. Ia menyiapkan terms of reference untuk seminar-seminar, mengatur kunjungan ke DPR, hingga menyiasati demo-demo mahasiswa.

Aksi Dono yang turun ke jalan bersama mahasiswa pada 1998, bukan aksi demonstrasi pertama yang diikuti ayah tiga anak ini. Dono bersama dua personel Warkop lainnya, Kasino dan Nanu yang merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Indonesia turut serta dalam aksi Malari 1974. Demonstrasi itu menolak dominasi ekonomi Jepang di Indonesia.

Buntut dari gerakan Malari tersebut, yang disebut ditunggangi kelompok dan orang tertentu terjadi Malapetaka 17 Januari 1974 atau yang dikenal dengan Malari. Sejumlah mahasiswa UI ditangkap pihak keamanan Orde Baru, salah satunya Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) UI Hariman Siregar.

"Warkop menjadi elemen yang berperan cukup aktif pula mengkritik Orde Baru walaupun masih dalam batas-batas yang jinak melalui satir-satir politik," tulis Budiarto.

Gak nyangka banget, ternyata selain kocak dia pernah menjadi aktivis

Silahkan Share

Baca Juga




Sumber:Merdeka.com